Apakah Penderitaan Bisa Berubah?
Ada sebuah studi ilusi optik dalam jurnal sains yang menjadikan serangkaian titik berwarna biru dan ungu sebagai tolak ukur tingkat kebahagiaan sekaligus pesimistis yang dialami manusia. Tim ilmuan dari Harvard, Dartmouth dan New York University melakukan uji coba dengan sebuah gambar berisi rangkaian titik biru hingga ungu kepada para mahasiswa.
Untuk 200 percobaan pertama, para mahasiswa berhasil menunjukan jumlah titik yang sama dari berbagai spektrum warna biru dan ungu. Beberapa bisa mengenali perbedaan warna biru dan ungu dengan baik. Namun pada 800 percobaan berikutnya, jumlah titik biru yang disajikan terus berkurang sampai semua yang ditampilkan berwarna ungu. Anehnya, jawaban para mahasiswa tidak sesuai.
Para peneliti menyimpulkan mahasiswa semakin salah dalam mengira titik ungu sebagai titik biru. Ketika titik biru dikurangi dalam gambar, para mahasiswa justru menganggap titik ungu sebagai titik biru. Kenapa hal itu bisa terjadi? Peneliti mengungkap hal itu terjadi karena otak manusia tidak membuat keputusan berdasarkan peraturan baku, melainkan berdasarkan rangsangan sebelumnya. Para mahasiswa memperluas definisi mereka tentang warna biru tampak sesuai dengan harapan yang terbentuk dari uji coba sebelumnya.
Hal ini menunjukkan jika otak terus-menerus mengkalibrasi ulang persepsinya berdasarkan pengalaman sebelumnya, maka manusia akan melihat sesuatu sebagaimana adanya. Bias seperti ini memiliki dampak yang menyedihkan untuk banyak hal. Efek titik biru menggambarkan bahwa semakin banyak kita mencari ancaman, semakin kita melihatnya, tidak peduli seberapa aman kondisi lingkungan yang sesungguhnya. Dan kita bisa menyaksikan itu yang terjadi di dunia saat ini.
Dulu, korban kekerasan berarti seseorang yang dianiaya secara fisik. Hari ini, banyak orang mulai mengartikan kekerasan sebagai kata-kata yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bahkan merujuk pada kehadiran seseorang yang membuat mereka tidak suka.
Dulu, trauma diartikan secara spesifik sebagai sebuah pengalaman yang begitu keras hingga korbannya tidak bisa beraktivitas sama sekali. Hari ini, sebuah perjumpaan sosial yang tidak menyenangkan atau pengalaman mendapat kata-kata yang menyakitkan telah tergolong sebagai trauma.
Inilah efek titik biru. Semakin membaik keadaan, justru semakin banyak ancaman yang kita lihat, meski kenyataannya tidak ada satupun yang mengancam kita. Dan inilah inti dari paradoks dunia.
Psikologi perkembangan selama ini memiliki pendapat bahwa menyelamatkan orang dari masalah tidak akan membuat orang tersebut bahagia, justru membuat mereka lebih mudah merasa cemas. Seperti seorang anak yang dijauhkan dari tantangan maka ketika dewasa akan menjadi orang yang mudah menyerah dan merasa sulit menghadapi masalah kecil.
Kenyataannya, reaksi emosional kita terhadap segala masalah tidak ditentukan oleh ukuran masalah tersebut. Pikiran kita saja yang membesar-besarkan atau mengecil-kecilkan sesuai dengan tingkat stres kita. Kemajuan teknologi dan kemudahan juga tidak otomatis membuat kita merasa tenang akan masa depan. Sebaliknya, ada orang yang justru sudah menyelesaikan segala rintangan namun tetap merasa menderita. Orang itu jadi lebih egois dan enggan keluar dari sifat kekanak-kanakannya. Ia melihat gunung yang padahal tidak lebih dari sekedar gundukan tanah.
Setiap dari kita mungkin mengira bahwa kitalah yang tidak bisa berubah.. seperti beberapa hari tampak cerah, lalu mendung, langit berubah, tapi kita tetap sama. Padahal dunia tidak berjalan seperti itu. Penderitaan selalu ada, yang berubah hanyalah persepsi akan penderitaan. Mencoba menghilangkan penderitaan hanya akan meningkatkan kepekaan kita terhadap penderitaan itu sendiri. Itu karena penderitaan adalah pengalaman kehidupan.
Pada akhirnya, ketika kita bisa menerima penderitaan, segalanya bisa ditangani.

Komentar
Posting Komentar