Islam dan Kemanusiaan
Sebuah buku berjudul The Prophet Pulpit: Commentaries on the State of Islam, menuliskan:
You cannot claim to be a good Muslim if you do not care about human rights.
In modern epistemology, caring for human rights is a short-hand way of saying "I respect the dignity and worth of every human being. I do so because I respect God's creation and I love God. So I love God's creation."
Kita telah melewati Idul Fitri sekali lagi pada 21/22 April 2023, artinya dua hari yang lalu. Kita juga sudah menyantap hidangan lezat, bertemu sanak saudara, bergembira merayakan kemenangan. Namun dibalik semua keindahan itu, benarkah kita telah mendapat kemenangan? Rasanya belum lengkap jika hari raya ini tidak disertai kemajuan dan kedekatan dengan Ilahi. Sehingga timbul pertanyaan, saat kita kembali melihat Ramadan berikutnya, apakah kita masih berada di sini? Apakah kita masih menjalani kehidupan seperti ini? atau, akankah kondisi kita dan umat Islam menjadi lebih baik?
Sebelum tanda tanya itu terjawab, biarkan tulisan ini mengakui bahwa ia dimuat bukan untuk menimbulkan propaganda, justru bertujuan untuk perdamaian, meskipun di paragraf berikutnya akan membahas kekacauan; sebuah tragedi yang terjadi di tengah-tengah umat.
Sekitar 3 minggu yang lalu, tepatnya pada hari Rabu, 5 April 2023, banyak dari kita mendengar berita seputar penyerangan polisi Israel terhadap warga Palestina di masjid Al Aqsa. Dari situs berita yang saya baca, penyerangan terjadi selama 2 hari. Pada hari pertama, pasukan Israel mendobrak pintu masjid dan melepas granat serta peluru karet ke dalam masjid. Sementara dari video yang beredar di social media, kita bisa melihat bagaimana pasukan Israel juga memukul warga Palestina dengan pentungan hingga warga Palestina kesakitan. Serangan tidak berhenti sampai disitu, serangan kedua kembali dilakukan pasukan Israel dengan mengerahkan granat dan memerintahkan umat Islam yang sedang beribadah di masjid Al Aqsa untuk segera pergi.
Bagi orang awam seperti saya, khususnya yang tidak tinggal disana dan tidak menyaksikan secara langsung situasi yang terjadi, tentu bertanya-tanya, kenapa konflik antara Israel dengan Palestina tidak kunjung usai? Apalagi di tengah bulan Ramadan, seharusnya umat beragama bisa saling menghormati peribadatan masing-masing.
Akhirnya dengan keterbatasan, saya mencari informasi di laman internet untuk menjawab pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam kepala itu. Sedikit dari yang saya temukan, konflik yang terjadi antara Israel dengan Palestina bukanlah konflik agama. Jika selama ini saya berpikir kenapa mereka tak kunjung berdamai adalah sebab kebencian akan agama masing-masing, itu adalah salah besar. Bertahun-tahun saya mengira Palestina ditindas sedemikian rupa oleh Israel karena Islamophobia, kenyataannya konflik tersebut berawal dari perebutan tanah.
Dari beragam video dan situs yang membahas perihal Israel-Palestina, saya mengutip apa yang disampaikan oleh Habib Husein Jafar seputar awal mula konflik Israel-Palestina. Penyerangan pertama memang dilakukan Israel di sebuah perkampungan milik Palestina yang merenggut banyak korban, untuk kemudian wilayah itu diokupasi (direbut) oleh Israel demi memperluas wilayah negara Israel. Jika melihat dari satu sisi itu saja, kita sudah bisa mencerna bahwa hal paling mendasar yang dilanggar dalam konflik ini adalah nilai kemanusiaan. Maka wajar, jika banyak negara di dunia yang bahkan bukan negara muslim sekalipun ikut mengecam tindakan Israel.
Konflik kedua negara ini memang bisa dilihat dari berbagai perspektif, termasuk politik. Saya, sebagai salah satu orang yang sempat salah paham dengan konteks 'Israel', 'Zionis', serta 'Yahudi', baru memahami bahwa pelaku dari penyerangan terhadap palestina adalah Zionis, dan Zionis adalah gerakan politik yahudi, tetapi tidak semua orang yahudi setuju kepada zionisme (gerakan ini). Jadi sudah jelas, konflik yang terjadi antara Israel dengan Palestina tidak disebabkan oleh agama.
Mengutip kembali pernyataan Habib Husein, Zionis juga diartikan sebagai gerakan yang berbasis pada etnisitas untuk menguasai wilayah tertentu, yang dianggap sebagai tanah yang dijanjikan untuk etnis tersebut. Tapi sekali lagi, itu adalah gerakan politik, dimana ia memanfaatkan isu etnis dan agama. Karena itu, sangat jelas terlihat perbedaan konteks antara Zionis dan Yahudi.
Bahkan jika membaca sejarah, jauh puluhan tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1948, ada satu kelompok Yahudi ortodox bernama Neturei Karta yang tegas menentang Zionisme, dengan menyerukan "pembongkaran secara damai negara Israel" karena enggan membenarkan penjajahan di Palestina. Kini kelompok itu terus berkembang di Israel hingga ke negara lain. Hal ini menggambarkan bahwa tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan, justru semua agama mengajarkan kita untuk menyebarkan kasih sayang. Dan orang yang taat kepada Tuhannya, sudah pasti memperjuangkan nilai kemanusiaan diatas kepentingan apapun.
Miris.. jika kita (sebagai umat Muslim) bungkam tentang isu Palestina sedangkan ada umat lain yang terang-terangan membela Palestina karena rasa kemanusiaannya. Miris, jika kita mengetahui umat Muslim di luar maupun di dalam negeri menderita sedang kita masih asik menutup mata. Miris, jika kita terus membeda-bedakan agama, ras, etnis, saat ingin menolong orang yang kesulitan di sekitar kita.
Peristiwa yang terjadi di Palestina sesungguhnya mengajarkan kita sebagai umat Muslim untuk membuka hati dalam menerima kebenaran, dan tidak menolaknya mentah-mentah. Apapun agamanya, jika ia adalah manusia, kita harus memperlakukannya sebagai manusia. Sebab ketika kita menghormati martabat dan harga diri setiap manusia, disitulah kita baru bisa mencintai Tuhan.
May Allah bless us.
Komentar
Posting Komentar