Islam dan Lingkungan
Ada yang menarik dari pembangunan Ibu kota baru Indonesia, yang rencananya akan diresmikan pada bulan Agustus tahun 2024. Kota Nusantara, atau Ibu kota baru Indonesia ini akan mengadopsi konsep "kota hutan", di mana lebih dari 75% wilayahnya adalah ruang hijau. Seperti yang banyak orang ketahui, kota Nusantara dibangun di pulau Kalimantan yang merupakan pulau ke-2 dengan hutan terluas di Indonesia. Kabar ini tentu membuat kita membayangkan kota tersebut akan sejuk dan nyaman untuk ditempati.
Namun, bayangan indah itu tidak lantas menghapus kekhawatiran lain. Melihat proses pembangunan dan perubahan aktivitas kera yang mulai turun ke jalan untuk mencari makanan, para konservasionis justru khawatir tentang dampaknya terhadap satwa liar di dalam maupun sekitar ibu kota baru. Seperti pembukaan lahan bakau besar-besaran atau peningkatan aktivitas kapal-kapal besar yang dapat memicu serangan buaya terhadap nelayan setempat. Hal itu tidak hanya membahayakan para nelayan, namun juga mengancam buaya dan ekosistemnya.
Dilansir dari artikel Richaldo Hariandja dalam NBC news, suatu hari nanti kota Nusantara dapat mencakup hampir 1.000 mil persegi provinsi Kalimantan Timur, atau empat kali dari luas Jakarta, Sekitar 125 mil persegi lahan tersebut diklasifikasikan sebagai hutan primer yang belum tersentuh oleh aktivitas manusia. Adapun 75 mil persegi akan diisi hutan bakau, dan sekitar tiga perempatnya dianggap bukan hutan, yang berarti dapat dikonversi untuk keperluan pertanian, pemukiman maupun industri.
Mengetahui kondisi tersebut, kita perlu memperhatikan bahwa sekitar 1.400 bekantan hidup di hutan bakau Teluk Balikpapan, atau 5% dari total populasi di Kalimantan. Teluk yang direncanakan menjadi pelabuhan Nusantara ini juga merupakan rumah bagi lumba-lumba Irrawaddy, salah satu spesies yang terancam punah. Meningkatnya aktivitas di Teluk Balikpapan, baik selama konstruksi atau setelah kota Nusantara dihuni, kemungkinan akan memberi tekanan pada lingkungan lumba-lumba, karena merujuk pada tumpahan minyak yang pernah terjadi di tahun 2018 dan menewaskan empat ekor lumba-lumba.
Adapun satwa lain yang terkena dampak oleh proyek Nusantara adalah orangutan. Saat ini ada sekitar 200 orangutan di antaranya yang tinggal di suaka lokal. Aldrijanto Priadjati selaku manajer program Kalimantan Timur untuk Yayasan Penyelamatan Orangutan Kalimantan menyampaikan bahwa Ibu kota baru akan menghabiskan semua area suaka seluas 28 mil persegi. Pembangunan Ibu kota baru ini tentu harus melibatkan pengkajian matang agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan permasalahan baru di masa mendatang.
Apalagi mengingat hasil investigasi masyarakat sipil bersama sejumlah lembaga seperti Walhi, jaringan Advokasi Tambang, Trend Asia, dan Forest Watch Indonesia yang menyampaikan permasalahan lingkungan di sekitar Ibu kota baru. Dilansir dari CNN Indonesia, ada 94 lubang bekas tambang batubara yang belum dipulihkan oleh korporasi di tahun 2019, dan bertambah menjadi 149 dengan luas 256 ribu hektar di tahun 2022.
Hal ini menjadi perhatian bagi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagaimana yang disebutkan oleh Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahwa program rehabilitasi hutan serta reklamasi lahan bekas tambang akan jadi prioritas KLHK dalam upaya memperbaiki kualitas lingkungan di Indonesia, termasuk Kalimantan Timur. Pemerintah sudah menyiapkan pembangunan pusat persemaian Ibu kota Nusantara di atas lahan seluas 120 hektar yang diperkirakan akan memproduksi 15 juta bibit tanaman pertahun.
Tapi tentu saja, penanaman pohon tidak cukup untuk menanggulangi semua kerusakan yang terjadi. Setiap orang termasuk diri kita sendiri harus bertanggungjawab pada apa yang kita lakukan dan dampaknya bagi sekitar. Apa yang terjadi dengan lingkungan di kota maupun daerah lain mendorong kita sebagai masyarakat untuk lebih PERHATIAN terhadap kondisi alam. Bukan hanya protes atau menyerukan orang lain untuk menjaga lingkungan, namun juga ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan sehari-hari. Ulah kita ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup makhluk lain. Boros listrik, menumpuk sampah, perilaku konsumtif dengan terus membeli baju, sepatu, tas dan barang-barang tanpa meninjau kepentingan, hingga kebiasaan makan daging yang tidak dibatasi, yang ternyata juga berdampak pada perubahan iklim.
Sebelum kita lahir dan membaca berbagai artikel jaga bumi yang ada di internet, Allah sudah memperingatkan kita dalam surah Al Araf ayat 56:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
Bahkan saat kita sudah terlanjur berbuat salah, Allah masih mengingatkan kita untuk kembali ke jalan yang benar di surah Ar Rum ayat 41:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan akibat dari perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar."
Di dalam Islam kita selalu diajari untuk menjadikan segala sesuatu sesuai ukuran agar tidak berlebihan, termasuk dalam mengeksploitasi alam. Tanah Indonesia yang saat ini kita tumpangi, laksana sekeping tanah surga yang dihamparkan oleh Allah dalam bentuk sawah, sungai, gunung-gunung, lautan, dimana semuanya adalah anugerah untuk kita jaga. Kita bisa makan, menghirup udara segar, punya tempat tinggal, wisata di alam terbuka, dengan kondisi fisik yang sehat saja, itu sudah nikmat, namun mungkin sering kita lupakan.
Jika selama ini kita diberitahu guru di sekolah untuk mengelola alam demi kelangsungan generasi berikutnya, maka dewasa ini kita harusmenyadari bahwa mengelola alam dengan cara yang baik merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas semua nikmatnya.
May Allah bless us.
Komentar
Posting Komentar