Menyelesaikan Apa yang Sudah Saya Mulai
"Tidak ada yang bisa menunjukan dunia dengan cara lain selain cara dunia mengungkapkan dirinya sendiri kepada kita. Karena itulah kita harus kembali kepada sudut pandang kita. Tidak mungkin jika tidak ada pandangan tentang dunia, dan bahkan jika itu mungkin, itu adalah sesuatu yang tidak diinginkan." - Martin Buber.
Kalimat ini saya temukan dalam sebuah buku tepat saat saya merasa kehilangan arah. Saya mendirikan sholat dari subuh, dzuhur, ashar, magrib, Isya, menyibukan diri merevisi design yang sebenarnya bisa dikerjakan di hari Senin, tapi masih saja, rasanya hati ini mengganjal. Bahkan selama mencuci piring di dapur dan tertawa bersama Ibu pikiran saya selalu berkata "Malam ini pasti saya menangis".
Iya saya ingin menangis di dalam kamar, tapi berkali-kali adik kecil saya (yang masih berumur 7 tahun) masuk dan enggan keluar meski sudah saya paksa. Saya benar-benar butuh ruang sendiri untuk mengurai semua perasaan, namun semesta tidak mendukung. Saya pancing adik saya keluar lalu saya masuk dan segera mengunci pintu, tapi dia menggedor-gedor terus merengek😂 Saya minta Ayah saya membawanya untuk tidur bersamanya di kamar sebelah, tapi adik saya terus memaksa tidur di kamar saya. Benar-benar, sulit dikendalikan.
Akhirnya saya pasrah, saya pura-pura tidur menghadap tembok.. tak berapa lama adik saya turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Ia keluar menuju ruang tengah..
Saya tidak langsung terperanjat untuk kembali ke tempat duduk. Saya masih berbaring di tempat tidur dan merogoh buku dari bawah bantal. Buku Reclaim Your Heart karya Yasmin Mogahed. Seperti biasa, Tuhan kadang menjawab pertanyaan hambanya dengan cara aneh. Tiba-tiba saja saya tidak ingin membaca bab yang sudah saya tandai dengan kertas. Saya langsung menggerakan jari ke sebuah halaman yang bahkan tidak pernah saya tahu judul dan apa isinya.
Halaman ini membuat perasaan saya pecah. Entah bagaimana saya harus mengatakan, bahwa pada akhirnya dunia memang akan menunjukan wajah aslinya sendiri. Tidak peduli bagaimana kita meminta saran, sebanyak apapun kita bertanya pada orang sekitar, seintens apa kita bertukar pendapat, jika bukan dunia sendiri yang menunjukannya pada diri kita, maka kesadaran itu tidak akan pernah muncul.
Dua hari sebelum ini ditulis, saya sempat bertanya pada seorang teman untuk memastikan apa yang saya lakukan sudah benar selama seminggu ini. Hanya agar saya tidak kalah dari rasa takut dan tidak bersedih menerima akibatnya. Tapi pada akhirnya, sekeras apapun saya berusaha menyingkirkan sebuah perasaan, saya tetap harus berhadapan dengan itu. Saya harus menerima kenyataan bahwa apa yang saya lakukan salah. Lagi-lagi salah. Lagi-lagi saya mendurhakai Tuhan.
Yasmin Mogahed menulis sesuatu dalam halaman ini,
"Setiap kali Anda mengejar, mencari, atau mengajukan permohonan terhadap sesuatu yang lemah (segala sesuatu selain Allah) Anda juga akan menjadi lemah. Bahkan jika Anda telah meraih apa yang Anda cari, itu tidak akan pernah cukup. Anda akan merasa perlu mencari sesuatu yang lain.."
Benar, kita tidak akan pernah mendapat kepuasan jika terus hidup dengan konsep tukar menukar; take and give. Satu-satunya jalan untuk lepas dari perbudakan itu hanyalah berpegang pada sesuatu yang kuat; yang bersamanya datang juga kekuatan dalam diri kita. Ibnu Taimiyah pernah menggambarkan ini sebagai mukmin yang hatinya bebas dari belenggu perbudakan dunia. Hati yang memahami bahwa satu-satunya kesengsaraan yang tidak bisa diatasi adalah menyembah pada selain Tuhan, entah itu hasrat, ego, kekayaan, pekerjaan, pasangan, anak-anak, atau kehidupan yang kita jadikan sebagai hal tertinggi.
Pada akhirnya, sayalah yang memperbudak diri saya sendiri. Saya menciptakan penjara duniawi hanya untuk mengambil karunia yang sifatnya sementara. Padahal semestinya karunia tidak disimpan dihati, melainkan di tangan. Saya harus belajar untuk berhenti menjadikan Tuhan sebagai komoditas yang bisa dikesampingkan. Saya selesai sampai disini. Sudah cukup.

Komentar
Posting Komentar