Untuk Apa Kita Bertanya

Pertanyaan adalah wujud ketidakpuasan akan apa yang diketahui saat ini, itu sebabnya orang bertanya. 

Salah satu teman saya hari ini menceritakan bagaimana rekannya sering mengajukan pertanyaan terhadap foto/aktivitas yang ia posting di social media. Ketika teman saya menjawab pertanyaan dari rekannya, rekan itu hanya membaca dan tidak membalas lagi. Dia melakukan hal itu secara berulang sehingga membuat teman saya bingung. 

Saya sejenak mengingat apa yang biasanya saya lakukan ketika berbicara dengan seseorang. Saya mengatakan bahwa ada 2 alasan kenapa orang bertanya. Pertama, ia ingin bicara denganmu untuk mengetahui sesuatu, dan ketika ia sudah tau jawabannya maka ia tidak perlu lagi mencari hal lain untuk dibicarakan. Kedua, ia ingin bicara denganmu, sangat ingin bicara denganmu, dan ketika ia sudah mendapat respon namun ia berhenti membalas, itu bukan berarti ingin mengakhiri percakapan, tapi dia bingung harus mengatakan apa lagi.

Hal semacam ini pernah dibahas oleh Wang yangming, seorang sastrawan asal China. Ia menyatakan bahwa ketiadaan pertanyaan merupakan pertanda yang menunjukan kepuasan seseorang. Dalam situasi seperti itu, biasanya orang menganggap apa yang ia ketahui adalah benar, sehingga ia tidak perlu untuk bertanya. Namun, kesadaran untuk bertanya adalah awal dari perubahan. Sebuah pengetahuan akan bernilai jika didalamnya terdapat dua hal: pertanyaan yang baik dan jawaban yang baik. 

Dengan membuat pertanyaan, kita memungkinkan untuk mencari jawabannya sendiri, seperti yang dilakukan seseorang saat berdoa pada Tuhan lalu bertanya "kenapa doaku belum terkabul?" yang padahal Tuhan mengabulkannya dalam bentuk lain namun tidak disadari orang tersebut. Dan seiring waktu berjalan, orang itu akan menyadari apa yang ia doakan dijawab Tuhan lewat takdir yang sedemikian rupa, maka ia mengambil pelajaran dari itu.



Pertanyaan juga mirip dengan pandangan. Jika seseorang menerima pertanyaan, maka mau tidak mau ia harus meresponnya. Akan tetapi, diam pun bisa jadi bentuk reaksi terhadap pertanyaan itu. Hal ini biasanya dilakukan oleh para penguasa untuk mengambil alih pandangan orang lain. 

Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana orang kerap bertanya dengan ujung yang tajam seperti
"Kenapa?"
"Apa alasannya?"
"Lalu?"

Pertanyaan seperti itu terkesan menekan, tidak bersahabat, dan bisa mengintimidasi seseorang. Daripada melakukan hal tersebut, lebih baik jika kita mengajukan pertanyaan seperti 
"Menurutku, semua peristiwa punya pelajaran. Apakah itu benar?" atau
"Bagaimana menurutmu?"

Kata-kata itu mungkin terkesan ringan, tapi bisa membuat lawan bicara untuk membuka hati dalam menjawab pertanyaan, sehingga memungkinkan percakapan yang produktif. 

Namun, tidak peduli seberapa sering kita mengajukan pertanyaan, jika lawan bicara kita hanya memberi jawaban singkat, maka percakapan itu hanya bertujuan untuk mengkonfirmasi kekuasaan. Pertanyaan haruslah datang dan pergi secara alami, dan itu tidak mungkin terjadi tanpa ada rasa percaya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengisi Kekosongan

Wanita Bukan Mesin Kesenangan

All About Your Heart